Senin, November 19, 2007

Fwd: FENOMENA SUBPRIME MORTGAGE & DILEMA PEMBIAYAAN KONSUMTIF DI INDONESIA

--- In ekonomi-islami@yahoogroups।com, Merza Gamal
Belakangan di mass media banyak ditulis, bahwa salah satu
permasalahan krisis keuangan yang melanda Amerika adalah berkaitan
dengan industri "subprime mortgage" (KPR Subprima). Diawali pada
akhir tahun 2006, industri KPR subprima di Amerika memasuki suatu
masa yang disebut "masa kehancuran KPR subprima". Tingginya angka
penyitaan jaminan KPR subprima ini telah menyebabkan lebih dari 24
perusahaan pemberi pinjaman KPR subprima mengalami kepailitan, salah
satunya adalah perusahaan terkemuka yaitu New Century Financial
Corporation, yang merupakan perusahaan KPR subprima terbesar kedua di
Amerika. Kehancuran dari perusahaan-perusahaan KPR subprima ini telah
mengakibatkan harga pasar saham berbasis Real estate investment trust
senilai 6.5 triliun USD jatuh dan membawa pengaruh meluas terhadap
bursa saham Amerika serta ekonomi secara keseluruhan. Krisis ini
masih berlanjut terus dan telah mendapatkan perhatian serius dari
media massa di Amerika serta
pembuat undang-undang pada awal tahun 2007.
Permasalahan yang terjadi di Amerika tersebut, tampaknya tidak
menjadi sebuah pelajaran berharga bagi praktisi keuangan di
Indonesia. Dalam berita media masa pada awal November disampaikan
bahwa perbankan mengenjot kredit konsumtif menjelang akhir tahun 2007
untuk memenuhi target pemberian kredit kepada masyarakat. Lebih
lanjut, apabila kita perhatikan dengan seksama, komposisi kredit
perbankan pada dua dekade belakangan ini, mengalami perubahan
signifikan. Pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan
sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik
itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta
sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur
perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun
pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka
dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke
hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang
sebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini
merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang
bersifat konsumtif.

Dari catatan perbankan nasional Indonesia per Agustus 2007, terlihat
bahwa Rp 258 trilyun dari Rp 893 trilyun atau 29% outstanding kredit
perbankan di Indonesia merupakan kredit konsumtif langsung kepada
nasabah perbankan. Di samping itu, terdapat pula 11% (Rp 95,679 T)
merupakan kredit yang diberikan kepada sektor jasa dunia usaha, yang
isinya sebagian besar merupakan kredit kepada multi finance, koperasi
simpan pinjam dan institusi lainnya yang meneruskan pembiayaan
konsumtif kepada "customer" nya. Dengan demikan, sebenarnya, 40% dari
outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan
kepada sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum
pekerja. Jika dibandingkan dengan profesi pedagang, profesi pekerja
sangat besar mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Pemberian kredit
kepada sektor perdagangan (termasuk hotel & restoran) "hanya" sebesar
21% (Rp 192T) dari total outstanding kredit perbankan Indonesia tahun
2006.
Sektor pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu "hanya"
5,5% (Rp 49T). Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB
di era ekonomi modern saat ini, "hanya" mendapatkan 21% (Rp 189,7T)
saja dari total outstanding kredit.

Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa yang mendorong
pertumbuhan kredit perbankan saat ini adalah sektor konsumtif, bukan
sektor produktif. Dengan demikian, pada saat ini, jauh lebih banyak
profesi pekerja (pegawai) yang menjadi debitur perbankan dibandingkan
profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan
profesi petani. Hal serupa juga terjadi di Amerika, sebagaimana yang
disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A
New History of the World's Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini,
rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan orang-
orang yang menjadi pegawai.

Seringkali kita dengar, dari para pelaku perbankan, bahwa pinjaman
konsumtif merupakan pendorong pertumbuhan kredit perbankan yang aman.
Mereka membuktikan dari kecilnya angka NPL (Non Performing Loan)
sektor ini, pada tahun 2005 hanya 2,26% saja. Namun keyakinan itu
agak menurun karena mulai naiknya NPL sektor konsumtif menjadi 3,37%
per Agustus 2007. Apakah keyakinan para pelaku perbankan terhadap
kredit konsumtif yang menjanjikan benar adanya, dapat kita resapi
dari bahasan Stiglitz pada bukunya di atas, meskipun ia tidak secara
khusus membahas permasalahan tersebut.

Seorang pekerja dalam sebuah roda perekonomian sangat tergantung
dengan sebuah produktivitas. Ketika perekonomian sedang menggunakan
sumber dayanya secara maksimal, peningkatan produktivitas
memungkinkan naiknya PDB, upah, dan memperbaiki standar hidup.
Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami resesi, semuanya akan
berbalik arah dengan turunnya PDB, upah, serta memburuknya kualitas
hidup masyarakat, termasuk profesi pekerja. Apabila resesi yang
terjadi karena permintaan yang terbatas, misalnya output hanya naik
1 persen sedangkan kapasitas produksi 3 persen lebih output, maka
pekerja yang diperlukan menjadi lebih sedikit, sehingga akan
berdampak kepada peningkatan pengangguran.

Peningkatan laju pertumbuhan produktivitas, dalam jangka pendek, bisa
jadi menghasilkan tingkat output yang lebih rendah. Akan tetapi,
angka pengangguran yang tinggi akan menjadi penyebab penekan upah
pekerja. Situasi dunia kerja menjadi tidak menentu yang akan
berakibat tertekannya konsumsi, atau paling tidak laju pertumbuhan
konsumsi akan menurun. Namun, karena kapasitas produksi berlebih,
kenaikan laba yang disebabkan oleh penurunan upah dan penurunan suku
bunga, tidak otomatis mendorong peningkatan investasi. Akibat
pertumbuhan konsumsi yang menurun atau melambat, maka output secara
keseluruhan akan berkurang. Akhirnya semakin sedikit pekerja yang
dibutuhkan.

Era "Ekonomi Baru" setelah tahun 1990 yang sangat menekankan
teknologi tinggi dan kemudahan komunikasi informasi, turut merubah
pola perusahaan dalam mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan
akan mempertahankan para pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka
tidak terlalu diperlukan. Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi
baru, berkembang pula budaya yang menitikberatkan pada bottom line
yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan laba jangka panjang,
sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu mengambil
tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat
perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai
tindakan lemah hati dan rendah pikiran. Lebih jauh lagi, telah muncul
idiom baru yang berbunyi "pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan
lagi, karena mereka selalu bisa dikontrak (outsourcing) lagi nanti
saat diperlukan".

Munculnya era ekonomi baru beserta budaya baru yang ditimbulkannya,
akan sangat berpengaruh terhadap pinjaman konsumtif yang diberikan
bank kepada nasabahnya, yang hampir seluruhnya, merupakan pekerja.
Kerentanan kondisi pekerja yang ada saat ini akan membuat pekerja
mudah sekali kehilangan pekerjaannya. Pada saat seseorang kehilangan
pekerjaan, hal utama yang akan dipenuhi adalah kebutuhan pokok mereka
dalam mempertahankan kehidupannya. Dari sisi psikologi, pada saat
seseorang mempunyai sumber daya yang terbatas, maka pemenuhan
kewajiban (hutang) akan menjadi urutan pemenuhan yang terakhir.
Dengan demikian, risiko yang akan ditanggung oleh sebuah bank yang
mempunyai portfolio pembiayaan konsumtif yang besar turut menjadi
besar setiap siklus resesi terjadi pada roda perekonomian.

Permasalahan penting lainnya yang membayangi portfolio pinjaman
konsumtif yang besar adalah terjadinya kondisi suku bunga tinggi.
Menurut Stiliglitz, suku bunga tinggi sangat tidak baik bagi para
pekerja (pegawai upahan), dan mereka akan rugi pada tiga hitungan,
yaitu:
Tingginya suku bunga dapat menimbulkan naiknya angka pengangguran;
Tingginya pengangguran meletakkan tekanan terhadap besaran upah;
Akibat hutang yang dimiliki pekerja, suku bunga tinggi membuat makin
berkurangnya kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk kebutuhan
lainnya.
Bila dikaji lebih lanjut, sistem bunga pada sebuah pembiayaan
mempunyai pengaruh yang tidak baik bukan saja pada saat suku bunga
tinggi, melainkan juga pada saat suku bunga rendah. Menurut Umer
Chapra (1985), sistem bunga akan merugikan penghimpunan modal, baik
suku bunga tersebut tinggi maupun rendah.
Suku bunga yang tinggi akan "menghukum" pengusaha sehingga akan:
- menghambat investasi dan formasi modal;
- menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan
kerja;
- menyebabkan laju pertumbuhan yang rendah.
Suku bunga yang rendah akan "menghukum" para penabung yang akan:
- menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan;
- mengurangi rasio tabungan kotor;
- merangsang pengeluaran konsumtif yang menimbulkan tekanan
inflasioner;
- mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif;
- menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas
investasi.

Bagi seorang pekerja yang sangat tergantung kepada perusahaan pada
era ekonomi baru dengan budaya perusahaan yang berbeda dengan masa
lalu, kondisi suku bunga yang tinggi maupun rendah mempunyai dampak
yang signifikan dalam pemanfaatan dana yang mereka peroleh maupun
miliki dari hasil pekerjaan mereka.

Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan, pendapat sebagian
pihak yang menyatakan bahwa pembiayaan konsumtif merupakan portfolio
yang menguntungkan dan aman pada saat ini, sebenarnya kurang tepat.
Sebaliknya, pelaku perbankan sadar bahwa terlalu besar mengelolah
portfolio pembiayaan konsumtif merupakan sebuah "api dalam sekam",
yang tiba-tiba akan dapat menghabiskan semua yang ada pada saat yang
tidak dapat diduga sebelumnya, dan dapat saja menjadi
sebuah "dilemma" masa depan. Apakah fenomena "subprime mortgage" di
Amerika tidak cukup menggugah para pelaku keuangan di Indonesia????


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi इस्लामी)