Senin, November 19, 2007

Fwd: Tantangan Perguruan Tinggi Menyediakan Ahli Ekonomi Syariah

--- In ekonomi-islami@yahoogroups.com, Merza Gamal


Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, perkembangan
Lembaga Bank Syariah cukup pesat, yang selama 7 tahun hanya diisi
oleh satu pemain, yakni Bank Muamalat Indonesia. Perkembangan
tersebut, dimulai dengan berdirinya Bank Syariah Mandiri yang
merupakan anak perusahaan Bank Mandiri dan kemudian diikuti oleh
berbagai bank yang Kantor Cabang Syariah, bahkan sebuah Bank Asing
Global telah membuka Unit Syariah di Indonesia, yakni Hongkong
Shanghai Bank Corp. (HSBC). Hingga akhir triwulan III-2007, terdapat
3 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Di samping itu, telah
tercatat pula di Bank Indonesia sebanyak 109 lembaga Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS), serta lebih dari 3.000 lembaga Baitul Maal wat
Tamwil (BMT) sebagai salah satu alternatif lembaga keuangan syariah
mikro. Seiring dengan pertumbuhan lembaga perbankan syariah, lembaga
keuangan lain berbasis syariah berkembang pula, seperti berbagai
asuransi, termasuk asuransi asing (yakni Great Eastern,
Prudencial, Alianz, dan MAA), penggadaian, reksa dana Syariah, serta
berbagai perusahaan besar mengeluarkan obligasi Syariah guna mencari
dana bagi usaha mereka.

Pada saat ini, perkembangan perbankan syariah sebagai bagian dari
aplikasi sistem ekonomi syariah di Indonesia telah memasuki babak
baru. Pertumbuhan industri perbankan syariah telah bertransformasi
dari hanya sekedar memperkenalkan suatu alternatif praktik perbankan
syariah menjadi bagaimana bank syariah menempatkan posisinya sebagai
pemain utama dalam percaturan ekonomi di tanah air. Bank syariah
memiliki potensi besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi
nasabah dalam pilihan transaksi mereka. Hal itu ditunjukkan dengan
akselerasi pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di
Indonesia.

Setelah diakomodasinya Bank Syariah pada Undang-Undang Perbankan
No. 10/1998, maka dari tahun 2000 hingga tahun 2004, dapat dirasakan
pertumbuhan Bank Syariah cukup tinggi, rata-rata lebih dari 50%
setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, pertumbuhan Bank
Syariah melebihi 90% dari tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, pada
tahun 2005 dan 2006, dirasakan ada perlambatan, meskipun tetap tumbuh
sebesar 37% dan 28%. Akan tetapi, walaupun dirasakan pertumbuhan Bank
Syariah di Indonesia melambat, sebenarnya pertumbuhan sebesar itu
merupakan prestasi yang cukup baik. Perlu disadari, bahwa di tengah
tekanan yang cukup berat terhadap stabilitas makroekonomi secara umum
dan perbankan secara khusus, kondisi industri perbankan syariah tetap
memperlihatkan peningkatan kinerja yang relatif baik. Di samping itu,
dapat pula dipahami, bahwa meskipun share bank syariah pada saat ini
(per September 2007) baru 1,72%, namun hal tersebut telah menunjukkan
peningkatan yang luar biasa
dibandingkan share pada tahun 1999 yang hanya 0,11%.

Bank Indonesia, sebagai pemegang kebijakan moneter, dan para
stakeholder yang terlibat lainnya yakin bahwa pengembangan Bank
Syariah dianggap masih mempunyai prospek yang tinggi. Hal tersebut
diyakini karena peluang yang besar dan dapat dilihat dari hal-hal
sebagai berikut:
1. Respon masyarakat yang antusias dalam melakukan
aktivitas ekonomi dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah;
2. Kecenderungan yang positif di sektor non-keuangan/
ekonomi, seperti sistem pendidikan, hukum dan lain sebagainya yang
menunjang pengembangan ekonomi syariah nasional.
3. Pengembangan instrumen keuangan syariah yang diharapkan
akan semakin menarik investor/pelaku bisnis masuk dan membesarkan
industri Perbankan Syariah Nasional;
4. Potensi investasi dari negara-negara Timur Tengah dalam
industri Perbankan Syariah Nasional.

Bank Indonesia mempunyai keyakinan bahwa Bank Syariah akan terus
berkembang pada tahun 2008 dengan pangsa sebesar 5,25%. Perkembangan
tersebut diprediksi akan semakin besar pada tahun-tahun selanjutnya
seiring berkembangya aplikasi-aplikasi ekonomi berbasiskan prinsip-
prinsip syariah di Indonesia, seperti peraturan perundangan yang
memberika ruang gerak terhadap lembaga-lembaga ekonomi syariah di
Indonesia.

Keyakinan Bank Indonesia di atas, diikuti dengan beberapa rencana
corporate action yang akan dilakukan oleh beberapa bank dalam
memenuhi akselerasi perkembangan perbankan Syariah di tahun 2008,
antara lain adalah:

Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengakuisisi Bank Jasa Artha menjadi
BUS (Bank Umum Syariah) dan spin off UUS (Unit Usaha Syariah)
digabungkan ke dalam BUS baru dengan penambahan modal awal sebesar
Rp500M dari Rp1T yang akan ditempatkan;
Bank Negara Indonesia (BNI) akan memperbesar UUS dengan menambah
modal sebesar Rp300M dan mengakuisisi bank kecil untuk dijadikan BUS
dengan dana sekitar Rp200M, sehingga BNI akan memiliki dua bank
syariah;
Bank Bukopin membeli saham dan aset kredit Bank Persyarikatan
untuk selanjutnya dikonversi menjadi BUS dengan tambahan dana sekitar
Rp250M;
Bank Panin mengakuisisi Bank Harfa untuk selanjutnya dikonversi
menjadi BUS dengan dana sekitar Rp200M;
Bank Victoria Internasional mengakuisisi Bank Swaguna untuk
selanjutnya dikonversi menjadi BUS dengan dana sekitar Rp200M;
Bank Central Asia (BCA) akan mengakuisisi 2 bank untuk dijadikan
wealth management bank dan BUS (dengan dana sekitar Rp200M);
Bank Jabar akan mengakuisisi sebuah bank yang selanjutnya
dikonversi menjadi BUS dengan dana sekitar Rp500M;
Beberapa BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang masih belum memiliki
UUS segera membuka networking syariah;
Beberapa bank konvensional domestik maupun internasional akan
membuka UUS, antara lain, Lippo Bank, Bank Century, NISP, BTPN,
Standard Chartered Bank (SCB), ABN-Amro, Citibank, dll;
Beberapa Bank Syariah baik yang sudah eksis maupun yang segera
berdiri akan mengembangkan wealth management berbasis syariah,
seperti HSBC Amanah, SCB, Citibank, BII, dan BCA.

Hal-hal yang masih menjadi kendala dalam pengembangan Bank Syariah
di samping imbas kondisi makroekonomi, juga dipengaruhi oleh hal-hal
sebagai berikut:

Jaringan kantor pelayanan dan keuangan syariah masih relatif
terbatas;
Sumber Daya Manusia yang kompeten dan professional masih belum
optimal;
Pemahaman masyarakat terhadap bank syariah sudah cukup baik, namun
minat untuk menggunakannya masih kurang;
Sinkronisasi kebijakan dengan institusi pemerintah lainnya
berkaitan dengan transaksi keuangan, seperti kebijakan pajak dan
aspek legal belum maksimal;
Fluktuasi suku bunga masih berpengaruh terhadap loyalitas nasabah
syariah;
Fungsi sosial Bank Syariah dalam memfasilitasi keterkaitan antara
voluntary sector dengan pemberdayaan ekonomi marginal masih belum
optimal.

Untuk mengantisipasi kendala jaringan kantor pelayanan Bank
Syariah, pihak Bank Indonesia telah membuat regulasi tentang
kemungkinan pembukaan layanan Syariah pada counter-counter Unit
Kovensional Bank-Bank yang telah mempunyai Unit Usaha Syariah melalui
PBI No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006. Dengan demikian,
diharapkan masalah jaringan pelayanan dan keuangan Syariah dapat
diatasi karena masyarakat dapat dilayani dimana saja saat membutuhkan
transaksi Bank Syariah.

Seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi dan keuangan syariah di
Indonesia, maka tentunya dibutuhkan sumber daya insani (manusia)
berkualitas yang dapat menjadi pelaku ekonomi professional dan
inovatif terhadap produk-produk keuangan syariah. Oleh sebab itu,
sudah seharusnya, pengembangan pendidikan ilmu ekonomi syariah
menjadi sebuah keniscayaan seiring dengan kebutuhan pasar. Program
studi ekonomi dan keuangan syariah, seharusnya tersedia di lembaga
pendidikan tinggi umum, tidak hanya IAIN. Kebutuhan ahli ekonomi dan
keuangan Syariah, bukan hanya dari sisi fikih, namun mencakup
keahlian siap pakai untuk terjun ke lembaga-lembaga keuangan berbasis
Syariah. Kurikulum ekonomi syariah semestinya tersedia seiring dengan
berkembangnya ekonomi dan sistem keuangan syariah. Kehadiran kelompok
studi ekonomi Islam di kampus-kampus dapat menjadi penggerak bagi
kajian keilmuan di masing-masing kampus sekaligus sosialisasi dan
penyebaran ilmu ekonomi syariah di kalangan akademisi.
Dengan demikian, seharusnya perguruan tinggi umum, tidak perlu ragu
apakah lulusan dapat diterima di dunia kerja, selama output yang
dihasilkan sesuai dengan criteria yang diharapkan oleh lembaga
perbankan dan keuangan syariah lainnya.

Sumber Daya Insani (SDI) hasil pendidikan perguruan tinggi yang
dibutuhkan oleh Lembaga Perbankan Syariah, adalah seorang yang
mempunyai:
1. kemampuan profesionalitas yang tinggi dalam bidang keahlian
keuangan manajemen;
2. kemampuan beradaptasi yang tinggi;
3. menguasai perangkat teknologi dan informasi;
4. memahami ketentuan dan prinsip syariah yang baik;
5. memiliki akhlak dan moral yang Islami, yang dapat
dijabarkan dan diselaraskan dengan sifat-sifat yang harus dipenuhi,
yakni:
a. Siddiq, yakni bersikap jujur terhadap diri sendiri, terhadap
orang, dan Allah SWT;
b.Istiqomah, yakni bersikap teguh, sabar dan bijaksana;
c. Fathonah, yakni professional, disiplin, mentaati peraturan,
bekerja keras, dan inovatif;
d.Amanah, yakni penuh tanggungjawab dan saling menghormati dalam
menjalankan tugas dan melayani mitra usaha;
e. Tabligh, yakni bersikap mendidik, membina, dan memotivasi pihak
lain untuk meningkatkan fungsinya sebagai kalifah di muka bumi.

Untuk mendukung tujuan di atas, secara khusus Bank Indonesia telah
mengatur bahwa manajemen bank syariah diharuskan memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Memiliki komitmen dalam melaksanakan usaha bank berdasarkan
prinsip syariah secara konsisten;
2. Memiliki integritas dan moral yang baik;
3. Memiliki pengalaman operasional Bank Syariah atau telah
mendapatkan pendidikan dan pelatihan perbankan syariah.

Selain peningkatan kompetensi dan profesionalisme melalui
pendidikan dan pelatihan, perlu juga diciptakan suasana yang
mendukung di setiap Bank Syariah, tidak terbatas hanya pada lay out
serta physical performance, melainkan juga nuansa non fisik yang
melibatkan girah Islamiyah. Hal ini perlu dilakukan sebagai
environmental enforcement, mengingat agar sumber daya yang telah
belajar dan mendapatkan pendidikan serta pelatihan yang baik, ketika
masuk ke dalam pekerjaannya menjadi sia-sia karena lingkungannya
tidak mendukung.

Perlu disadari, bahwa pada saat ini, dalam dunia ekonomi terjadi
perkembangan yang cukup signifikan terhadap ekonomi syariah, tidak
hanya di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim, tetapi juga di
negara non Muslim seperti Inggris, Luksemburg, Swiss, New Zealand,
Singapore, Jepang, dan Amerika Serikat. Seiring dengan berkembangnya
sistem pasar bebas, jika kita tidak siap, mungkin saja Bank Syariah
yang beroperasi dan berhasil di Indonesia merupakan cabang-cabang
Bank Syariah dari Amerika, Inggris, Luksemburg, New Zealand,
Singapore atau negara-negara Barat lainnya, dengan tenaga-tenaga
Sumber Daya Insani dari negara asal mereka yang lebih terdidik,
sedangkan kita kembali menjadi penonton di negeri sendiri.


Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)