Senin, November 19, 2007

Fwd: REVITALISASI REPUBLIK : Perspektif Pangan dan Kebudayaan

--- In ekonomi-islami@yahoogroups.com, RACHMAD BACAKORAN

Revitalisasi Indonesia bisa dimulai dari mana saja. Apapun kebijakan
yang menjadikan anak panah, asal fokus, konsisten dan terus menerus
sehingga mampu menarik bidang-bidang lain untuk menjadi produktif,
maka persoalan yang dihadapi bangsa ini akan dapat diatasi.
Kebijakan mengenai pangan, misalnya, kalau dilakukan secara totalitas
maka akan mendorong ketahanan pangan nasional. Situasi ini akan
membuat perasaan tenteram rakyat, tiap individu merasa bermartabat
karena tidak kelaparan, dan bangsa menjadi berdaulat karena tidak
bergantung pada bangsa lain dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional.
Ibarat sebuah sungai, jika ketahan pangan tersebut bergabung dengan
sungai-sungai lain utamanya nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan,
maka akan terciptalah lautan. Kita AKAN menjadi bangsa yang besar.

Franciscus Welirang lahir di Padang 9 November 1951. Pendidikan
tinggi di tempuh di HND Chemical Engineering (Inggris) dan Plastic
Institute South Bank Politechnic (Inggris). Saat ini menjadi Wakil
Presiden Direktur PT.Indofood Sukses Makmur,Tbk dan Komisaris Utama
PT. Bursa Efek Surabaya. Aktif di beberapa organisasi seperti menjadi
Sekretaris Jenderal Federasi Pengemasan Indonesia, Dewan Penasehat
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, Ketua Umum Asosiasi
Produsen Tepung Terigu Indonesia, Wakil koordinator komisi I Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, dan Anggota tim Pengarah Panitia
Orientasi Kebangsaan Departemen Dalam Negeri RI. Selain itu, juga
intens bersentuhan dengan budayawan, ulama, pengamat dan kelompok-
kelompok strategis lain.
Dunia dan orang lain tidak akan bisa diminta supaya berhenti
menyiasati kita kecuali merubah diri kita sendiri sehingga tidak bisa
diperdaya olehnya.
kalau jalan ketakutan akan adanya jebakan pangan dari negara adidaya
pertanian ternyata kurang ampuh, mengapa tidak menyiasati dengan
menjadi belut melalui mengembangkan budidaya makan tepung?
Buku Franciscus Welirang ini terdiri atas lima bagian, bagian I
tentang Industri Pangan, bagian II tentang Ketahanan Pangan, bagian
III tentang Tanggung Jawab Sosial dan Pemberdayaan Ekonomi, bagian IV
tentang kebudayaan, bagian V tentang Kebangsaan serta Renungan
Penutup.

Siapapun anak bangsa yang mau sedikit merenung, dia akan gemetar jika
memikirkan masa depan Indonesia. Utamanya apabila faktor China dan
India diperhitungkan. karena kedua negara itu, secara sadar dan
terencana, masing-masing berniat menguasai pasar hardware dan
software dunia. Target waktu yang mereka tetapkan adalah tahun 2025.
Saat itu menurut pengamat politik Sukardi Rinakit, China menguasai
hardware dunia, India menguasai software dunia, sedangkan Indonesia
Noware. Kita harus segera bergerak menguasai Iptek agar tidak
ketinggalan dari negara-negara tetangga. Melihat geliat kedua negara
tersebut, dan pusaran ekonomi global yang semakin cepat dan tidak ada
pilihan lain bagi indonesia kecuali mencari terobosan alternatif.
Tanpa langkah itu, rasanya sulit bagi republik untuk bisa bertahan
dari gempuran global. Pendeknya, kelangsungan hidup bangsa sangat
tergantung dari kemampuan kita dalam memahami persoalan mendasar yang
kita hadapi. Selain itu juga sangat tergantung pada keberanian kita
dalam mengambil keputusan politik bersama. Tanpa langkah itu, sumber
daya ekonomi dan politik yang ada tidak akan bergerak maju. Ia akan
seperti tertahan karena menentang arah angin.

Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa
Menurut Sri Sultan Hamengku buwono X, Pangan bukanlah
sekedar "pemelihara" kebudayaan dan peradapan tetapi juga
kelangsungan hidup bangsa. Tanpa pangan bisa dipastikan sejarah kita
sebagai bangsa, bahkan sejarah umat manusia akan berakhir. Oleh sebab
itu, masalah ketahan pangan, meskipun tampak mikro jika dilihat dalam
konfigurasi permasalahan bangsa, harus mendapatkan perhatian utama.
Tanpa itu, bukan saja keresahan sosial sulit untuk dihindari tetapi
kualitas SDM Indonesia pun secara otomatis akan rendah. Secara
sekilas, itulah barangkali yang menjadi intisari pemikiran penulis
ini.
Harus diakui bahwa selain beras, konsumsi pangan kita juga masih
rendah, utamanya konsumsi protein hewani. Konsumsi susu per kapita
per tahun, Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan India, misalnya.
Per kapita rakyat Indonesia hanya minum susu 6,5 liter per tahun,
sedangkan India mencapai 40 liter. Lebih ironis lagi jika di
bandingkan Bangladesh dan Myanmar pun, kita juga kalah jauh.
Bangladesh mencapai 31 liter dan Myanmar 12,9 liter. Ini belum
konsumsi daging, telur, kedelai dan lain-lain. Pendek kata, secara
umum, konsumsi pangan kita relatif rendah.
Sementara itu, ketergantungan kita pada produk pangan dunia,
khususnya "serealia" masih relatif tinggi. Padahal China dan India
merupakan konsumen terbesar kebutuhan pangan dunia, termasuk
serealia. Situasi demikian secara implisit memberi gambaran, bahwa
sesungguhnya kedaulatan pangan kita sangat rentan. Ini disebabkan
oleh ketidakmandirian negara dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat.
Dengan kata lain, kedaulatan kita dapat terancam sewaktu-waktu,
karena ketergantungan pangan pada negara lain cukup besar.
Muaranya adalah bahwa kebijakan pangan kita harus diubah dengan
paradigma baru yang menjamin ketersediaan dan ketahanan pangan. Jika
menggunakan sumber kearifan jawa, kebijakan itu hendaknya berakar
pada filosofi Hamemayu hayuning Bawono, sebuah konsep pembangunan
berkelanjutan yang lahir jauh sebelum Deklarasi Rio tahun 1992, guna
menjamin ketahanan pangan yang sustainanble. Tanpa kesadaran seperti
itu, kita tidak akan bisa meningkatkan kualitas hidup rakyat, karena
kelangsungan hidup bangsa selalu terancam kapan pun.


Wassalam