Senin, November 19, 2007

Fwd: KEBIJAKAN LUAR NEGERI: BEBAS TAPI PASIF

--- In ekonomi-islami@yahoogroups.com, RACHMAD BACAKORAN

Entah kebijakan apalagi yang akan dilakukan oleh
Malaysia kepada warga Indonesia yang berada di sana. Derita demi
derita terus terjadi dengan intensitas yang semakin meningkat. Kasus
Bonar dan Ceriyati telah cukup menggambarkan duka mendalam anak
bangsa ini dalam upaya meraih sesuap nasi, seiring dengan kepulangan
para TKI yang tinggal jenazahnya saja dengan berbagai sebab. TKI di
Malaysia telah dipandang rendah oleh tuan rumahnya dengan menggunakan
sebutan Indon, yang tentu saja berkonotasi rendah.

Arogansi Malaysia tidak dapat ditutupi lagi dengan kata-kata
apologis. Terlebih lagi ketika kasus-kasus 'kekerasan' serupa menimpa
para duta bangsa apakah itu wasit Donald Luther Colopita atau
keluarga duta bangsa yang lain yang semestinya mendapatkan
perlindungan dan kekebalan diplomatik. Kini muncul pula kasus batik
dan lagu Rasa Sayange. Lagu Rasa Sayange yang sudah kita hafal sejak
kanak kanak, kini justru menjadi lagu resmi promosi wisata Malaysia.
Kerikil-kerikil dalam hubungan bilateral ini ternyata telah menyulut
konflik horizontal antara masyarakat Indonesia dan masyarakat
Malaysia meski baru sebatas saling lempar kata melalui dunia cyber.

Menjaga persaudaraan
Memang tak bisa dipungkiri bahwa Malaysia kini telah jauh
meninggalkan Indonesia, meskipun pada pascakemerdekaan, Malaysia
jelas berada di belakang Indonesia dalam ranah ekonomi-politik.
Keadaan telah berbalik, Malaysia melesat jauh, sementara Indonesia
yang tadinya disanjung akan menjadi Macan Asia yang lain, taringnya
telah tanggal satu per satu akibat krisis ekonomi dan terlembaganya
korupsi. Akibatnya, kemiskinan ini telah memberikan andil
mengantarkan anak-anak bangsa terpaksa hijrah sementara ke Malaysia
sekadar menyambung hidup, dan rela menjadi pembantu dan buruh.

Meskipun demikian, semestinya tidak lantas sang majikan seenaknya
berbuat kejam kepada pembantunya, apalagi konon kedua bangsa ini
diikat dengan ikatan persaudaraan. Kemiripan etnis, nasib, agama,
bahasa, serta posisi geografis yang bersebelahan menjadikan keduanya
merasa sebagai saudara yang harus saling menolong. Dalam komunitas
ASEAN sendiri Indonesia dianggap sebagai saudara tua. Tapi kini
saudara tua itu terlalu banyak mengalah. Sementara adik-adiknya
berkembang sedemikian pesatnya hingga jauh meninggalkan sang kakak.
Sikap mengalah Indonesia, dimanfaatkan Malaysia untuk mengambil
keuntungan, meskipun harus melupakan pranata sosial dalam hubungan
persaudaraan. Ketika Indonesia jatuh dalam kesulitan, bukannya
Malaysia berusaha menolongnya, melainkan memanfaatkannya. Malaysia
juga bukan negara pertama yang membantu korban Gempa Bantul dan
Yogyakarta. Bahkan kini warga Indonesia yang bekerja di Malaysia
cenderung diperlakukan sebagai pembantu, bukan saudara.

Ironisnya, justru hubungan dua saudara ini sekarang banyak diwarnai
oleh pola penganiayaan lantaran Indonesia dianggap lebih rendah
sebagai sesama manusia. Merebaknya penggunaan kata Indon dan kasus
kekerasan adalah salah satu wujud dari anggapan ini. Jelas hal ini
bukanlah refleksi sebagai saudara.

Tampaknya, paguyuban (gemeinschaft) sebagai sokoguru dalam
persaudaraan telah dibuang jauh, dan diganti dengan prinsip
patembayan (gesellschaft), sebuah hubungan yang impersonal, di mana
setiap masalah yang muncul diselesaikan atas dasar prisip hukum
formal yang berlaku. Hubungan persaudaraan, pada sisi yang lain,
menghendaki paguyuban dan penyelesaian masalah berasas pada
kekeluargaan dan saling memahami.

Sikap pasif?
Bangsa ini dulunya dikenal sebagai bangsa yang besar, karena peran-
peran aktif dalam berbagai fora internasional. Kebesaran namanya
memang disegani dunia dengan komitmen kebijakan luar negerinya yang
bebas dan aktif. Kebijakan ini tenar ketika dunia terbelah dalam
dikotomi blok Barat – blok Timur. Kebijakan yang berakar pada
pemikiran Muhammad Hatta 'mendayung di antara dua karang' ini adalah
bentuk sikap proaktif pemimpin bangsa dalam membaca situasi
internasional serta pilihan cerdas bagi bangsa untuk tidak sekadar
mengekor pada tatanan internasional yang ada.

Partisipasi Indonesia dalam Peacekeeping Operation PBB serta
keberhasilan Jakarta Informal Meeting sebagai upaya perdamaian di
Kamboja adalah contoh menarik dari peran proaktif Indonesia.
Pascakrisis ekonomi, keadaan tampaknya berbalik. Indonesia justru
menjadi sasaran aktifnya negara lain. Perjanjian perdamaian Helsinki
menunjukkan Indonesia belum mampu mengatasi persoalan sendiri.

Sangat berbeda jika kita membandingkan dengan perlindungan Pemimpin
Libya, Mu'amar Qaddafi terhadap dua warganya dari kejaran Amerika
Serikat. Meskipun kedua warganya tersebut dinyatakan bersalah telah
terlibat dalam kasus pengeboman pesawat Pan Am 103 di Lockerbie tahun
1988, namum sebagai pemimpin, Qaddafi tetap melindungi warganya,
meski dengan risiko Tripoli dibombardir oleh pasukan Amerika Serikat.
Mirip dengan itu adalah kasus Flor Contemplacion, 1995. Contemplacion
adalah seorang pembantu rumah tangga (maid) asal Filipina. Ia dituduh
terlibat pembunuhan di Singapura dan akhirnya dieksekusi di
Singapura. Masyarakat dan pemerintah Filipina marah besar dan hampir
saja memutuskan hubungan diplomatik dengan Singapura.

Apa yang ditunjukkan Indoensia sejauh ini tampaknya tidak
merefleksikan bangsa yang besar. Nuansa takut, lamban, dan terkesan
administratif mewarnai sikap Indonesia. Tak ada tindakan tegas yang
ditunjukkan untuk mampu meredam agresifitas para tetangga. Tak
sekalipun kita berani menggertak kepada Malaysia. Dewan Perwakilan
Rakyat misalnya telah menyarankan pemerintah untuk sesekali
memberikan travel warning kepada Malaysia, namun sejauh ini belum ada
reaksi dari pemerintah. Yang muncul justru kesan-kesan pembiaran atas
berbagai kasus itu, sehingga lama kelamaan agresivitas tetangga yang
kita sebut saudara itu semakin menjadi. Boleh jadi keberanian
Malaysia di Ambalat adalah karena inspirasi dari kasus Sipadan
Ligitan.

Memang bangsa ini sedang dililit krisis multidimensi, khususnya di
dalam negeri. Namum hal ini tidak lantas membiarkan kedaulatan dan
harga diri ini dicabik-cabik oleh bangsa lain. Belajar dari Sukarno,
mestinya kasus-kasus seperti ini justru dapat diubah sebagai alat
pemersatu bangsa. Oleh karenanya perlu perubahan paradigma dalam
kebijakan luar negeri, khususnya sikap proaktif dan keberanian dalam
memperjuangkan kepentingan nasional, termasuk perlindungan terhadap
kekayaan dan warga negara.

Peran pemerintah perlu ditampilkan dan disosialisasikan. Publik boleh
mengetahui apa saja kebijakan pemerintah terhadap hal ini.
Ketidaktahuan dan kekecewaan publik terhadap kinerja pemerintah bisa
saja berdampak pada 'pengambilalihan' lahan penyelesaian ini, dari
pemerintah oleh masyarakat. Akibatnya, konflik horizontal akan mudah
terjadi antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Malaysia dan
konflik semacam ini sangat sulit untuk dikendalikan.


Wassalam