Senin, November 26, 2007

Fwd: [Republika Online] Menyatukan Potensi Global Keuangan Islam



23 Nopember 2007
Menyatukan Potensi Global Keuangan Islam
aru

Raksasa ekonomi Jepang melirik sistem keuangan Islam? Ini menjadi pertanyaan menarik, ketika Takahiro Sekido, resident economist dan wakil dari Japan Center for International Finance (JCIF), memaparkan pemain-pemain baru dalam industri keuangan Islam dari negeri Matahari Terbit ini. Sekido berbicara dalam 4th Kuala Lumpur Islamic Financial Forum, yang berakhir Rabu (21/11) lalu.

Bagaimana sistem keuangan Islam bisa diterima? Bukankah Muslim Jepang sangat kecil dibanding, misalnya, di Inggris? Keiko Sakurai dari Nihon no Muslim Shakai (Komunitas Muslim di Jepang) menghitung populasi Muslim di Jepang pada 2000 kurang dari 70 ribu orang. Sementara populasi Muslim di Inggris mendekati dua juta jiwa dari total 60 juta penduduk, berdasar sensus 2006. Publik bisa memahami bila Pemerintah Inggris mencanangkan London sebagai gerbang keuangan Islam Eropa. Dukungan demand domestik dan investor global begitu besar dan ingin menempatkan portfolionya dikelola sesuai syariah.

Tetapi Jepang? Bukankah tidak ada penolakan dari mainstream terhadap sistem keuangan konvensional? Kenapa mereka ikut merasa perlu terlibat?

Ketertarikan industri keuangan Jepang untuk terlibat dalam keuangan Islam memang fenomenal. Munculnya Tokio Marine, AEON Credit, Mitsubishi Tokyo UFJ (MUFJ), Mizuho, meramaikan jagad keuangan Islam tak pelak menarik perhatian Pemerintah. Kementerian Keuangan Jepang tahun 2006 lalu membentuk Study Group for Islamic Finance. Langkah ini ditindaklanjuti dengan mengorganisasikan Islamic Finance Conference di Tokyo bekerja sama dengan Islamic Financial Services Board (IFSB), 2007.

Disusul kemudian Japan Bank for International Cooperation (JBIC) melakukan MoU dengan Bank Negara Malaysia. Kerjasama ini diperkirakan baru langkah awal yang bakal ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan yang bakal mendorong semakin banyak pemain baru dalam industri keuangan Islam di Jepang.

Global branding
Fenomena Jepang menyiratkan harapan sekaligus kesedihan. Harapan karena keterlibatan Jepang sebagai salah satu pusat keuangan dunia membersitkan asa baru perkembangan ekonomi syariah. Kesedihan karena perkembangan yang sama masih belum terlihat, justru di belahan dunia Islam sendiri. Ketika bicara sistem keuangan Islam, maka data statistik yang meluncur misalnya, geliat perbankan di wilayah Teluk (Arab Saudi, UAE, Kuwait, Qatar, Bahrain), Sudan (Afrika), Malaysia, Indonesia, dan Pakistan.

Lalu dimana peran serta dari 57 negara OKI lainnya? Bagaimana dengan negara-negara OKI dari Afrika lainnya? Bagaimana dengan anggota-anggota OKI pecahan dari Rusia?

Kegelisahan inilah yang coba ditawarkan A. Riawan Amin, mewakili ASBISINDO dalam forum itu. Riawan menawarkan akselerasi produk dan jaringan yang mudah didaptasi dan- kalau perlu, dikloning, untuk siapa saja dari negara-negara OKI yang berharap segera memiliki dan mengembangkan keuangan syariah melalui bank. Riawan melihat perlunya negara-negara Islam memiliki semacam merek yang mendunia ( global branding) dalam bentuk produk perbankan.

Produk yang sudah dikaji kesesuaiannya dengan aturan syariah dan pada saat yang sama kompetitif dan bisa bersaing di antara belantara produk konvensional. Mudah dipakai dan gampang diterapkan dan disebarkan. Di atas semua itu, produk ini bisa diduplikasi oleh bank-bank syariah atau institusi konvensional yang ingin membentuk unit syariah atau mereka yang ingin menjual produk syariah.

Kenapa perlu? Karena ditengarai pakar keuangan syariah maupun praktisi di bidang ini masih sangat terbatas. Belum lagi biaya riset dan pengembangan sebuah produk yang tidak murah. Dengan begitu, negara Islam yang belum memiliki jaringan keuangan Islam dengan mudah tetap bisa berbisnis dan berniaga sesuai dengan ketentuan syariah dengan difasilitasi produk syariah dengan global branding.

Koneksi global
Bila global branding ini bisa diadaptasi, langkah selanjutnya adalah memfasilitasi jaringan atau koneksi dunia (Global Connection). Dalam skala yang lebih kecil, Riawan mencontohkan proyek SHADR (Sharia Deposit Arrangement) interconnectivity yang saat ini sudah mendapat dukungan, di mana 11 bank lokal di Indonesia turut serta. SHADR memungkinkan koneksi jaringan antar bank, di mana pemilik rekening syariah di sebuah bank bisa mentrasfer dananya melalui bank lain yang ikut dalam jaringan ini, secara instan dan real time online.

Memang model ini bukan tanpa resistensi. Bukan barang baru, jangankan antara negara, antar institusi syariah saja seringkali lebih mengedepankan ego sektoral dan mengabaikan misi menyatukan kekuatan bersama. Padahal, bila model ini bisa diterapkan dalam dunia Islam, diperkirakan akan terjadi lompatan ekonomi yang luar biasa. Dunia Islam dengan 57 negara anggota OKI menyediakan 40 persen bahan baku dan 70 persen energi dunia. Sayangnya, mereka hanya menyumbang kurang dari lima persen GDP dunia.

Namun, dengan pendekatan baru ini, kegiatan ekonomi diharapkan bisa tumbuh lebih cepat, lebih menyebar, dan lebih adil ke seluruh negara-negara Islam. Tidak itu saja, proyek ini bisa menjadi awal dari gagasan menyatukan mata uang bersama karena antarnegara Islam sudah terkonek satu sama lain. Bukan tidak mungkin juga, ini akan menjadi awal untuk kembali menghidupkan mata uang emas sebagai simbul keadilan ekonomi dan menghindarkan eksploitasi dari kapitalisme ekonomi dunia.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=314779&kat_id=256